Langsung ke konten utama

Unggulan

Kala Ombak Menyapu dan Bangunkan Mimpiku

Masih jelas dalam ingatanku tergambar peristiwa maha dahsyat yang memorak-porandakan Banda Aceh kala itu. Gempa bumi dan Tsunami yang melanda Tanah Rencong itu seakan menghukum dan mengingatkan setiap insan akan kuasa-Nya. Peristiwa tersebut menjadikan wajah Serambi Makkah murung dan dirundung kesedihan yang mendalam. Tangis dan teriakan seorang anak memanggil ibunya seakan mengoyak tabir-tabir kesunyian malam. Bangunan-bangunan yang berdiri kokoh pun lenyap dalam sekejap oleh gelombang besar tersebut. Banyak sekolah-sekolah yang hancur bahkan tak berwujud lagi bentuknya. Gambaran peristiwa tersebut telah tersimpan dalam memori kehidupan yang tak terlupakan.             Sering kita mendengar ungkapan bahwa pelangi pasti akan muncul setelah hujan bukan? Ya, bencana Tsunami memang telah mengakibatkan banyak kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun berkat kejadian itu, saat ini berdiri 3 lokasi Sekolah Sukma Bangsa di Propinsi Aceh. Sekolah ini mengisi kebutuhan sarana pendidika

Pahlawan-pahlawan Belia dalam Tulisan Saya Sasaki Shiraishi


 

            Buku yang berjudul Pahlawan-pahlawan Belia yang ditulis oleh Saya Sasaki Shiraishi ini sepertinya ingin menjawab mengapa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia masih saja merajalela. Selanjutnya Shiraishi juga mempertanyakan mengenai para koruptor kelas kakap yang tidak kunjung dijatuhi hukuman yang setimpal sampai saat ini.

            Buku ini bercerita tentang Indonesia, terutama pada masa Orde Baru merupakan dunia koneksi  yang sangatlah besar dan rumit. Seperti orang-orang di Jakarta misalnya, mereka membagi masyarakat dalam dua kategori: kenalan dan orang tidak dikenal. Orang yang dianggap kenalan, berarti seseorang akan masuk dalam perluasan jaringan keluarga. Walaupun sebenarnya orang tersebut tidak sama sekali terikat hubungan darah ataupun perkawinan. Menurut Shiraishi dalam buku ini, “hanya ada satu hubungan di dalam dunia ini: hierarki bapak/ibu-anak.”

            Selama Soeharto berkuasa, ia menempatkan diri sebagai Bapak Tertinggi (Supreme Father) bagi para bawahan dan rakyatnya. Orde baru memerintah negara dan membentuk bangsa tak ubahnya sebuah keluarga yang harmonis. Shiraishi lalu memunculkan pertanyaan dari pernyataan tersebut, “mungkinkah si anak melawan bapaknya? Jikalau itu mungkin, faktor-farktor apa saja yang menyebabkannya?”

            Mengapa KKN masih merajalela? Sebuah kisah menarik dari Bekas komisaris Bank Duta dan PT Berdikari, serta mantan Menteri Koperasi dan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Bustanul. Ia dikenal sangat royal untuk mengeluarkan sejumlah uang. Tidak tanggung-tanggung jumlahnya, Bustanul dapat mengeluarkan banyak uang untuk alasan-alasan kedermawanannya. Kedermawanannya itu sampai di protes oleh istrinya sendiri, ‘Seperti Sinterklas saja, dalam lima menit mengeluarkan duit Rp 50 juta,” gerutu istrinya.

            Bustanul sepertinya sangat menikmati perannya sebagai Siterklaus itu. Walaupun sebenarnya ia secara resmi tidak mempunyai bisnis sendiri. Tetapi banyak bisnis yang dikelola oleh putra-putrinya. Seperti data yang dihimpun Pusat Data Bisnis Indonesia, bahwa ada sekitar 18 perusahaan yang dihimpun  PT Citra Sari Makmur oleh keluarga ini. Mereka masuk ke banyak bidang, mulai dari perdagangan, perikanan, makanan, kebutuhan pokok, konstruksi, farmasi, sampai industri kertas. Dan beberapa diantaranya cukup besar.

            Bisnis sampingan ini tentunya menambah pemasukan bagi keluarga mereka. Untuk menjadi seorang yang dermawan, Bustanul memerlukan uang. Dan untuk mendapatkan uang tersebut, Bustanul memanfaatkan kekuasaan birokrasinya  untuk keuntungannya sendiri. Bukan hanya untuk menopang istri, anak, saudara, menantu, teman, dalam lingkungan keluarganya, tetapi juga keluarga besarnya di kantor,  yaitu para bawahan berikut keluarga mereka. Uang dicari dengan berbagai cara yang “kreatif.” Perusahaan milik negara diperah. Bisnis-bisnis mereka dimakmurkan demi mendapatkan uang tambahan. Lalu mereka tinggal beridiom dengan kata uang menjadi banyak variasi: uang administrasi, uang kopi, uang pelican, uang semir, uang sogok, uang tinta, uang tempel, dan banyak lagi.

            Kedermawanan Bustanul menurut hasil telaah saya hanyalah sebuah topeng yang digunakan untuk menutup pandangan dan mengelabui orang lain. Orang-orang seperti bawahannya seperti dipasangi kacamata disaat ruangan sedang gelap gulita. Mereka mungkin masih bisa mendengar suara-suara aneh disekelilingnya, tetapi mulut mereka terkunci. Mengetahui hal itu mereka berupaya untuk saling menguntungkan satu sama lain. Sehingga kasus-kasus yang sepertinya akan terungkap, namun dapat ditimbun lagi oleh relasi yang lain.

            Pemenuhan harapan dari keluarga dalam buku ini menjelaskan bagaimana nepotisme itu terjadi. Seorang anak yang meminta tambahan uang jajan misalnya, bagi seorang bapak yang ingin membahagiakan anaknya akan mencoba mencari jalan untuk memenuhinya. Sang anak yang mungkin memiliki sisi praktis bisa jadi membuat sang bapak khawatir. Siapa yang menyangka pada akhirnya si bapak melakukan cara yang praktis juga dalam memenuhinya. Seperti yang dicontohkan dalam buku ini, “Jaksa penuntut umum menjatuhkan 30 bulan penjara kepada direktur (bernama MS) PT Sumber Tani Agung, sebuah perusahaan milik negara, atas tuduhan korupsi. Dalam pengakuannya MS mengubah isi sebuah merk pestisida dari 2,9 meter kubik per ton, menjadi 4,4 meter kubik per ton. Dengan jumlah demikian, hampir setengahnya MS mendapatkan tambahan gaji yang banyak.

Ini pula yang mengakibatkan KKN sampai sekarang belum juga luntur di negara ini. Lalu apakah bisa para koruptor-koruptor itu ditangkap dan dihukum sebagaimana mestinya? Bila mendengar seorang yang melakukan korupsi dan ditangkap mungkin sudah sering terlintas diingatan kita. Namun mendengar pelaku korupsi yang dihukum berat sehingga kasusnya di negara ini berkurang adalah sangat jarang sekali.

Bila pemerintahan Orde Baru seperti yang digambarkan dalam buku Shiraishi ini sebagai seorang bapak, lalu bagaimana seorang anak untuk melawannya. Dalam sebuah kisah yang diceritakan, seoran gadis kecil yang tengah duduk tengan di samping ibunya tampak kebingungan ketika menerima edaran mangkuk permen di dalam sebuah ruangan. Dalam gerak-geriknya, sepertinya ia akan mengambil permen berwarna merah walaupun di dalamnya juga terdapat permen yang berwarna hijau. Tapi hanya sedetik sebelum jemarinya yang lentik masuk untuk mengambil permen merah, tangan ibunya melesat mengambilkan sebuah permen hijau, mengupasnya, dan memasukkan ke mulut mungil anaknya. Setelah terpana sesaat oleh perlakuan ibunya, ia menjulurkan lidahnya untuk membuang permen itu, sehingga jatuh ke lantai. Sejumlah ibu-ibu yang melihat kejadian itu tertawa, mengatakan bahwa itu merupakan hal yang lucu. Sementara itu ibunya tetap melanjutkan pembicaraan dengan seorang ibu muda di sebelahnya yang sedang memangku bayi seolah tak terjadi apa-apa. Si gadis kecil pun akhirnya tidak dapat merasakan nikmat dari permen pilihannya maupun permen yang telah dibuangnya.

Sikap ibu si gadis kecil itu mengajarkan bahwa apa yang diinginkan oleh si anak, tidak bisa ia dapatkan jika dia memperlihatkan keinginannya. Ibu disini sebagai figur yang mendominasi dan mengontrol hidupnya, figure yang memutuskan seluruh pilihan untuk dirinya. Inilah sisi lain dari seorang ibu.

Lalu apa yang terjadi bila seorang anak menolak pemberian orangtuanya? Anak wajib patuh pada orang tuanya. Menghormati dan mensyukuri setiap pemberian ibu merupakan kewajiban moral setiap anak. Seperti yang dijelaskan marcel Mauss bahwa anak wajib menerima pemberian itu dan membalasnya. Pembalasan itu selalu lebih besar dan lebih mahal. Dengan begitu, pemberian ibu itu tidak mungkin dibayar kembali.

Prinsip moral hubungan ibu dan anak inilah yang kemudian juga dipakai dalam hubungan negara-bangsa sehingga pemerintah (sebagai orang tua) dapat menuntut pengorbanan dan loyalitas yang tak terbatas dari rakyat (sebagai anaknya). Itulah hal yang penting ditekankan pemerintah kepada rakyat. Kewajiban moral untuk membalas pengorbanan sang ibu. sang ibu adalah sublime, karena dia memberikan segalanya tetapi tidak pernah menuntut apa-apa, sehingga sang anak yang harus sadar untuk membalasnya. Dan figure ibu ini jugalah yang dijadikan dasar identifikasi bagi para pahlawan Orde baru. Mereka memberikan segalanya tanpa menuntut balasan apapun.

 

Referensi:

Shiraishi, Saya Sasaki. 2001. Pahlawan-pahlawan Belia. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Mauss, Marcel. 1967. The Gift (Form and Functions of Exchange in Archaic Societies). New York and London: W. W. Norton.

Komentar