Unggulan

Kala Ombak Menyapu dan Bangunkan Mimpiku


Masih jelas dalam ingatanku tergambar peristiwa maha dahsyat yang memorak-porandakan Banda Aceh kala itu. Gempa bumi dan Tsunami yang melanda Tanah Rencong itu seakan menghukum dan mengingatkan setiap insan akan kuasa-Nya. Peristiwa tersebut menjadikan wajah Serambi Makkah murung dan dirundung kesedihan yang mendalam. Tangis dan teriakan seorang anak memanggil ibunya seakan mengoyak tabir-tabir kesunyian malam. Bangunan-bangunan yang berdiri kokoh pun lenyap dalam sekejap oleh gelombang besar tersebut. Banyak sekolah-sekolah yang hancur bahkan tak berwujud lagi bentuknya. Gambaran peristiwa tersebut telah tersimpan dalam memori kehidupan yang tak terlupakan.

            Sering kita mendengar ungkapan bahwa pelangi pasti akan muncul setelah hujan bukan? Ya, bencana Tsunami memang telah mengakibatkan banyak kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun berkat kejadian itu, saat ini berdiri 3 lokasi Sekolah Sukma Bangsa di Propinsi Aceh. Sekolah ini mengisi kebutuhan sarana pendidikan pasca musibah gempa dan Tsunami serta konflik yang menimpa Aceh beberapa waktu silam. Beranjak dari pemikiran tersebut, sekolah ini memberikan beasiswa kepada anak-anak para korban yang ditempatkan ke 3 Sekolah Sukma Bangsa dan terbagi atas 7 Kabupaten disetiap lokasinya. Dan atas rekomendasi dari wali kelasku di SMP Negeri 9 Banda Aceh, aku direkrut untuk melanjutkan ke Sekolah Sukma Bangsa yang berlokasi di Kabupaten Bireuen.

            Saat itu aku dan keluarga masih menumpang di rumah saudara yang berada di kawasan Lampeunerut. Beberapa malam dalam seminggu aku mengikuti bimbingan belajar di sekolah tempatku menempuh pendidikan menengah pertama. Malam sebelum aku memutuskan untuk menerima bersekolah di Sukma Bangsa, pukul 21.00 WIB seperti biasanya aku baru saja keluar dari kelas dan menunggu ayah menjemput di halaman depan. Dalam perjalanan pulang itu ayah mulai berpendapat tentang kemungkinan aku melanjutkan sekolah ke Sukma Bangsa. Satu perkataannya waktu itu yang membuatku sangat terenyuh adalah, “mungkin ayah nggak bisa sekolahin abang yang tinggi, seenggaknya abang udah dapat sekolah bagus yang udah ngak perlu bayar lagi.” Mendengar perkataan tersebut mataku berkaca. Sebagai anak yang paling tua aku berpikir sambil membayangkan adik-adikku dan masa depan yang akan diperjuangkan. Setelah malam itu akhirnya aku memantapkan keputusan untuk bersekolah ke Sukma Bangsa yang akan menjadi keputusan terbaik dalam hidupku.

            Pagi 10 Juli 2006 aku bertolak ke Bireuen ditemani seluruh anggota keluarga dan calon siswa lainnya. Kami berangkat bersama-sama menggunakan bus-bus sewaan dari Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh. Diiringi lagu-lagu soundtrack yang sedang ngehits saat itu dari film Heart yang dibintangi oleh Irwansyah dan Acha Septriasa, aku berkenalan dengan teman-teman baru yang menyenangkan dalam perjalanan itu. Mereka adalah Arul, Zubir, Raja dan Nora. Arul memiliki rupa seperti bandit India namun sangat ramah saat berkenalan. Zubir sendiri berparas seperti layaknya bintang Hollywood dan bisa dipastikan akan menjadi pusat perhatian kaum hawa. Sedangkan Raja dan Nora baru belakangan kami mengakrabkan diri. Perjalanan ini kemudian telah memasuki wilayah Bireuen dan tidak lama lagi akan tiba ke sekolah yang akan menjalani tahun pertamanya.

            Bendera merah-putih, spanduk besar bertuliskan Yayasan Sukma dan Media Group terpampang dan berkibar disetiap sudut halaman sekolah. Gedung yang besar, futuristik, megah, area yang luas dan menarik menyambutku dengan gagahnya. Ditambah dengan asrama dan fasilitas yang lengkap menambah minat dan semangatku bersekolah disini. Saat itu aku yakin akan menemukan hal-hal yang menakjubkan di sekolah ini.

            Selama bersekolah di Sekolah Sukma Bangsa Bireuen aku banyak mendapatkan pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga. Kegiatan belajar berlangsung dengan sistem moving class. Yaitu belajar di tempat-tempat yang berbeda dan berpindah dari satu ruang ke ruang yang lain. Itu memberikan pengalaman yang baru dan menjadikan pembelajaran yang dinamis bagiku. Dan yang paling membuatku nyaman dan kagum adalah guru-gurunya. Mereka adalah guru-guru yang sangat menyenangkan. Ketika aku kesulitan dalam memahami materi yang diajarkan, mereka bersedia meluangkan waktu untukku bertanya atau sekedar bercerita. Bagiku mereka adalah guru-guru terbaik dan selamanya akan ku hormati dan cintai.

Hal yang tak terlupakan pula kurasakan terhadap apresiasi yang diberikan oleh guru. Apresiasi yang diberikan itu sangatlah berpengaruh besar bagi proses belajar yang ku jalani. Pernah suatu kali disetiap hasil ujian dibagikan, terdapat coretan kecil berupa komentar dari guru bersangkutan. Mendapatkan hal semacam itu membuatku sangat tertarik untuk melakukan hal yang lebih dan selalu melakukan yang terbaik. Membaca pesan-pesan tersebut sering pula menambah semangat dan motivasiku dalam belajar. Sehingga sangat membantuku dalam membentuk karakter kepribadian. Puncak apresiasi yang dilakukan sekolah adalah Student of the Mount. Itu merupakan sebuah ajang apresiasi kepada seluruh insan yang tergabung dalam keluarga besar Sukma Bangsa. Mendapatkan penghargaan tersebut merupakan sebuah tanggungjawab yang sangat besar. Dan pada beberapa kesempatan kepercayaan itu jatuh padaku. Ikrarku dalam hati semoga kelak ku dapat memberikan kado yang manis untuk sekolah ini.

Hari demi hari telah ku lewati di sekolah ini. Menginjak kelas 2 SMA sebuah tanda tanya besar mulai menghampiriku. Kemana harus ku langkahkan kakiku selanjutnya? Kemanakah tujuan yang akan kutuju? Aku sendiri sebenarnya bermimpi untuk menjadi seorang musisi. Sejak pemilihan jurusan IPA atau IPS pun mimpiku untuk menjadi seorang musisi sudah sangat kuat. Sehingga untuk memuluskan langkahku menggapainya aku pun giat berlatih bersama Kak Mimi, Guru Musikku. Oleh karena itu, aku selalu berusaha untuk membagi waktu agar dapat menyeimbangkan kemampuan akademis dan musik yang kusenangi.

Perlahan-lahan aku pun mulai menikmati jalan yang kubuat dan rencanakan. Namun berita yang mengagetkan datang ketika tersiar kabar bahwa kelulusan SMA akan diuji dengan 6 pelajaran pada Ujian Nasinal 2009. Dikarenakan kebijakan ini, memasuki tahun terakhir sebagai siswa SMA, kegiatan belajar hanya difokuskan pada 6 mata pelajaran yang diujikan saja. Agar berhasil di Ujian Nasional aku pun berpikir untuk meninggalkan musik untuk beberapa waktu. Namun yang terjadi adalah tekanan hebat mengganggu pikiranku. Ketakutan telah menghantui diawal semester kelas 3. Setelah melalui pemikiran yang panjang, aku menyimpulkan bahwa musik dan kemampuan akademis adalah dua elemen yang akan menyeimbangkan caraku berpikir. Dengan pikiran yang lebih tenang, memudahkan aku dalam menentukan masa depan.

Ujian Nasional (UN) dan ujian masuk perguruan tinggi hanya bersisa beberapa bulan lagi. Aku terus berusaha untuk membuat diriku senyaman mungkin agar dapat mengahadapinya dengan baik. Oleh karena itu, aku sudah mempersiapkan target-target capaian yang ingin kuperoleh. Semuanya kutuliskan pada secarik kertas yang kutempel ke dinding. Target tersebut meliputi; jumlah perolehan skor Ujian Nasional; dan tujuan kampus yang kuinginkan. Kertas itu selalu kupandangi untuk mengingatkanku setiap waktu. Dalam pemilihan kampus yang kutuju, peran Bu Jami selaku konselor sangat membantuku. Beliau banyak memberi masukan kampus-kampus di Indonesia, Pulau Jawa khususnya. Hingga pada akhirnya pilihanku jatuh pada Universitas Gadjah Mada. Kota pelajar dan biaya hidup yang relatif lebih murah menjadi poin penting yang kupertimbangkan. Ditambah dengan bonus musisi-musisi yang melimpah-ruah disana menjadikan pilihanku mantap tertuju pada Yogyakarta sebagai tempatku berlabuh selanjutnya.

Beberapa bulan berselang Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada (UM UGM) lewat jalur Ujian Tulis (UTUL) pun dibuka. Aku mendaftarkan diri bersama teman-teman yang lain agar dapat diterima berkuliah ke UGM. Ini adalah kesempatan kedua aku mendaftar UGM setelah kurang beruntung pada jalur undangan. Ini adalah kesempatan untuk mewujudkan mimpi yang kuidamkan. Dengan yakin kumantapkan diriku agar dapat mengikuti ujian dengan baik. Tantangan pertama telah kulalui dan sekarang adalah waktunya untuk menghadapi rintangan berikutnya.

UN yang mendebar-debarkan datang menyapa kami para siswa kelas 3. Ujian yang berlangsung selama beberapa hari itu kami lakukan dengan sebuah niat yang mulia. Teringat sebuah pernyataan yang paling sering terngiang dalam pikiranku untuk melakukan ujian dengan bersih dan jujur. Sebuah perjuangan panjang akan dipertaruhkan disini. Komitmen yang kuat untuk bertindak jujur dalam ujian sudah ditanamkan sejak pertama sekali kami menginjakkan kaki ke Sukma Bangsa. Oleh karena itu, dengan memegang nilai-nilai yang sudah tertanam itu kucoba menyelesaikannya dan menghadiahkan sebuah kehormatan untuk sekolah yang kucintai ini. Serta menjadikannya sebuah kebanggaan yang akan selalu dikenang terhadap proses yang dijalani.

Pada saat liburan angkatan ke Takengon, kami menerima kabar bahwa pengumuman hasil tes UGM sudah dapat dilihat. Imam Abdillah, temanku dari Sukma Bangsa Lhokseumawe berhasil lulus masuk UGM pada jurusan Matematika. Mendengar kabar itu, Bu Jami menghampiri dan menanyakan tentang peluangku  masuk UGM. Namun aku hanya menjawab polos, “kalau dia bisa, pasti saya bisa.” Dalam perjalanan pulang kembali ke Bireuen, beberapa teman mulai mengecek didalam bus yang dibantu oleh Umi Ita, Guru Asuh Putri. Saat Umi sedang memeriksa hasil tesku, tiba-tiba beliau kegirangan dan mengatakan kalau saya lulus masuk UGM pada jurusan Antropologi Budaya. Namun aku menyambutnya dengan tidak berekspresi. Informasi tersebut bukan hal biasa dalam jangkauanku. Terbayangkan olehku perkataan ayah saat itu tentang ketidaksanggupan ayah untuk membiayaiku sekolah yang tinggi. tetapi kini dengan jelas aku mendengar sebuah kampus besar yang jauh disana menerimaku sebagai mahasiswanya. Yang dapat kulakukan saat itu hanya mengucapkan syukur sebanyak-banyaknya.

Pagi hari di mushalla Sekolah Sukma Bangsa Bireuen diselimuti awan mendung. Awan mendung yang merundung teman-temanku yang tidak lulus Ujian Nasional. Bagaimana tidak? Hanya 8 orang saja yang mendapatkan kelulusan dari UN tersebut. Bu Satia selaku Direktur saat itu menunjukan ketegarannya menyampaikan pada kami semua. Beliau menghimbau kami agar tetap tegar dan ini juga merupakan sebuah resiko yang sama-sama telah kita ambil untuk pendidikan yang lebih baik. Walaupun pada akhirnya hasil masih belum berpihak pada kita. Namun kerja keras dan nilai-nilai kejujuran yang dipegang patut untuk diapresiasi. Berita ini kemudian diekspos oleh media sehingga membuat gempar dan menimbulkan pro dan kontra terhadapnya.

Seiring berjalannya waktu suara-suara minor terhadap Sukma Bangsa mulai mereda. Berbagai prestasi sudah banyak diraih. Semangat kesukmaan terus dikumandangkan dan digelorakan. Jumlah dan diaspora alumni yang tersebar ke beberapa wilayah di Indonesia. Menasbihkan Sukma Bangsa telah menemukan formulanya. Dan sedang mencoba untuk bereksperimen untuk formula-formula berikutnya. Harapanku sejak menyelesaikan sekolahku di Sukma Bangsa ini adalah sangat sederhana. Seperti analogi ombak yang menyapu pinggiran pantai hingga tampak bersih dan mudah dilalui. Semoga pada tahun-tahun berikutnya selalu bermunculan siswa yang memberanikan langkahnya ke Universitas-universitas terbaik di Indonesia bahkan dunia.

Komentar