Langsung ke konten utama

Unggulan

Kala Ombak Menyapu dan Bangunkan Mimpiku

Masih jelas dalam ingatanku tergambar peristiwa maha dahsyat yang memorak-porandakan Banda Aceh kala itu. Gempa bumi dan Tsunami yang melanda Tanah Rencong itu seakan menghukum dan mengingatkan setiap insan akan kuasa-Nya. Peristiwa tersebut menjadikan wajah Serambi Makkah murung dan dirundung kesedihan yang mendalam. Tangis dan teriakan seorang anak memanggil ibunya seakan mengoyak tabir-tabir kesunyian malam. Bangunan-bangunan yang berdiri kokoh pun lenyap dalam sekejap oleh gelombang besar tersebut. Banyak sekolah-sekolah yang hancur bahkan tak berwujud lagi bentuknya. Gambaran peristiwa tersebut telah tersimpan dalam memori kehidupan yang tak terlupakan.             Sering kita mendengar ungkapan bahwa pelangi pasti akan muncul setelah hujan bukan? Ya, bencana Tsunami memang telah mengakibatkan banyak kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun berkat kejadian itu, saat ini berdiri 3 lokasi Sekolah Sukma Bangsa di Propinsi Aceh. Sekolah ini mengisi kebutuhan sarana pendidika

Sejarah Gagalnya Pembangunan Orde Baru



    Beberapa hal-hal yang dapat saya simpulkan dari bacaan mengenai ‘Sejarah Gagalnya Pembangunan Orde Baru’ ini adalah rekonstruksi dan refleksi ulang terhadap episode-episode pembangunan ekonomi Orde Baru sebalumnya. Ada empat episode yang diperbaharui, yaitu; Konsolidasi Ekonomi dan Politik; Etatisme Baru; Di Bawah Tuntutan Penyesuaian Struktural; dan Bergerak ke Hyper-Pragmatisme. 

Episode Pertama: 

    Pada episode pertama lahirlah ketetapan MPRS Nomor XXII Tahun 1966 tentang “Pembaharuan Landasan Kebijakan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan,” yang merupakan salah satu hasil dari sidang MPRS pada Juni 1966. Episode ini disebut sebagai masa persiapan fondasi untuk membangun ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. 

    Langkah strategis paling dominan dilakukan pada saat-saat awal pemerintahan Orde Baru adalah melakukan tindakan-tindakan progresif dengan memfasilitasi dan memobilisasi potensi ekonomi yang paling mudah diproduksi untuk menggerakkan roda perekonomian yang berorientasi pasar. Pada 1967, pemerintah menerbitkan dua undang-undang (UU), yakni Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Pokok-pokok Kehutanan. Setahun kemudian juga dterbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tindakan ini mencerminkan bahwa pemerintah lebih mementingkan masuknya investor asing terlebih dahulu daripada mobilisasi dana investor dalam negeri.

    Para pengusaha swasta pada masa ini memperoleh kesempatan luas membangun usaha-usaha baru dan mempererat relasi dengan birokrasi atau elite birokrasi yang memiliki kewenangan mendistribusikan peluang-peluang bisnis bagi para pengusaha. Pada periode ini pemerintah mendapatkan penerimaan yang besar dari hasil minyak bumi dan hasil bumi lainnya. Namun pemerintah kurang menyadari pentingnya pembangunan kelembagaan ekonomi dan perluasan basis penggerak ekonomi nasional, termasuk di antaranya pembangunan kerangka hukum ekonomi, dan pembentukan sistem control keuangan negara. 

Episode Kedua: 

    Di episode kedua ini adalah masa pertumbuhan yang didukung oleh produksi ektraktif dan bahan mentah, tidak hanya minyak tetapi juga timah dan hasil hutan. Peran dominan negara terhadap bidang ekonomi pada periode ini adalah sepak terjang perusahaan-perusahaan negara dan fungsi Anggaran Perencanaan dan Belanja Negara (APBN) dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi, baik secara sektoral, regional, maupun pengusaha. Dalam bidang politik adalah mengintervensi ketua-ketua partai politik dalam memenangkan pemilu 1971.

    Pertamina sebagai BUMN paling berkembang di perode ini mulai menjadi sangat personalisasi di bawah pimpinan Ibnu Sutowo. Perusahaan ini mulai mengembangkan sayapnya hingga ke sektor di luar perminyakan. Selain menggunaka laba perusahaan mereka juga mulai berinvestasi menggunakan dana pinjaman pada bank-bank. Karena tiada undang-undang yang mengatur Pertamina saat itu akibatnya pemerintah harus menanggung hutang-hutang tersebut. 

     Pada masa ini karena besarnya peranan sektor sumber daya alam dalam perekonomian Indonesia, dan betapa untungnya orang-orang yang terlibat di dalamnya telah menempatkan unsur masyarakat yang menjadi pejabat, pegawai pemerintah dan BUMN pada status yang tinggi. 

Episode Ketiga: 

    Pada masa ini disebut dengan masa penyesuaian structural. Kejutan terjadi pada awal decade 1980-an dimana merosotnya penerimaan negara karena harga minyak turun drastis. Karena yang paling terkena dampaknya adalah industri dalam negeri. Akibatnya pemerintah menjadi sangat bergantung pada dunia usaha swasta yang sedang bangkit. 

     Pemerintah sangat menyadari di tengah kondisi seperti itu pemanfaatan asset BUMN nilainya lebih besar daripada perusahaan-perusahaan swasta. Karena itu, pengelolaan dengan menggunakan cara-cara lama harus sudah harus ditinggalkan. Situasi dan kondisi yang terjadi pada awal 1980-an itu menyadarkan para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia untuk melakukan restrukturisasi ekonomi dengan dua cara. Pertama, mengurangi ketergantungan pada sumber devisa yang berasal dari ekspor migas. Dan meningkatkan ekspor barang-barang hasil produksi yang permintaan pasarnya di dalam negeri masih terbatas. Kedua, untuk menggerakkan ekonomi dalam negeri, menarik investasi asing dan mendorong masuknya barang modal dari luar negeri, dengan maksud untuk memacu pertumbuhan industri yang berorientasi ekspor dan memulihkan kembali kekuatan cadangan devisa nasional. 

Episode Keempat: 

 Tahun 1988 Indonesia seperti tengah berada di persimpangan jalan untuk menentukan pilihan jalur perekonomian yang harus ditempuh. Pilihannya, mengendalikan reaksi berlebihan dari investor domestik untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan yang menumbuhkan kepercayaan investor asing, atau berpindah jalur dengan mengakomodasi reaksi berlabihan para pengusaha domestik untuk menjadi lokomotif penggerak pertumbuhan ekonomi yang kemudian diharapkan diikuti oleh keikutsertaan para investor dari luar negeri. Pada perode ini pemerintah melakukan penyesuaian radikal yang cenderung mengubah makna pembangunan menjadi bisnis. 

    Gambaran mengenai investasi asing pada 1990-an menunjukkan bahwa Indonesia masih dibebani oleh berbagai persoalan internal, berupa kebijakan-kebijakan deregulasi yang mendua yang diakibatkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan tantangan eksternal karena kemajuan negara-negara tetangga. 

     Deregulasi yang tidak efektif sejak 1988 tampaknya tidak mempengaruhi para pembuat kebijakan ekonomi. Karena berkembangnya bisnis properti dan perdagangan barang-barang konsumsi yang dikelola oleh pera pengusaha dalam negeri untuk kebutuhan masyarakat golongan menengah ke atas yang berbasis di kota-kota besar. Bisnis ini memberi prospek cerah dalam pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak serta penerimaan lainnya. sehingga mebuat pemerintah terlena dan lupa akan pekerjaan besar dalam jumlah banyak, yakni mendorong pertumbuhan pembangunan dalam arti yang sesungguhnya.

    Pemerintah ternyata lebih memilih langkah pragmatis. Berawal dari kebijakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yaitu, mulai mengabaikan kepentingan masyarakat garis bawah yang sebelumnya diutamakan; membangun pembangunan dan kota-kota baru yang bertujuan untuk menggerakkan perekonomian; dan mengesampingkan koperasi dan usaha masyarakat. Kebijakan-kebijakan tersebut menguntungkan pengusaha-pengusaha namun sangat merugikan masyarakat. Contohnya adalah dalam hal pembebasan tanah untuk sebuah pembangunan bangunan dan infrastruktur. Dengan memainkan hukum mereka menipu rakyat awam dalam transaksinya. Cara membangun perekonomian seperti ini disebut sebagai cara yang hiperpragmatis. Sebab, para pengusaha dan pemerintah saling memanfaatkan peluang untuk meningkatkan pendapatan dengan mudah. 

    Sejumlah krisis yang terjadi menunjukkan beberapa sebab diantaranya adalah; manajemen moneter dan perbankan yang buruk; intervensi pemerintah terlalu besar dalam perekonomian; praktik-praktik KKN yang terus berlangsung; rendahnya kepercayaan pasar; ketergantungan Indonesia pada modal asing jangka pendek di pertengahan 1990-an; over investment boom; dan utang luar negeri semakin meningkat. Dengan demikian dua isu penting dalam pembangunan, yakni tatanan ekonomi secara keseluruhan, dan efisiensi ekonomi bagi masyarakat banyak belum menjadi perhatian penting dari penguasa Orde Baru.

Komentar