Langsung ke konten utama

Unggulan

Kala Ombak Menyapu dan Bangunkan Mimpiku

Masih jelas dalam ingatanku tergambar peristiwa maha dahsyat yang memorak-porandakan Banda Aceh kala itu. Gempa bumi dan Tsunami yang melanda Tanah Rencong itu seakan menghukum dan mengingatkan setiap insan akan kuasa-Nya. Peristiwa tersebut menjadikan wajah Serambi Makkah murung dan dirundung kesedihan yang mendalam. Tangis dan teriakan seorang anak memanggil ibunya seakan mengoyak tabir-tabir kesunyian malam. Bangunan-bangunan yang berdiri kokoh pun lenyap dalam sekejap oleh gelombang besar tersebut. Banyak sekolah-sekolah yang hancur bahkan tak berwujud lagi bentuknya. Gambaran peristiwa tersebut telah tersimpan dalam memori kehidupan yang tak terlupakan.             Sering kita mendengar ungkapan bahwa pelangi pasti akan muncul setelah hujan bukan? Ya, bencana Tsunami memang telah mengakibatkan banyak kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun berkat kejadian itu, saat ini berdiri 3 lokasi Sekolah Sukma Bangsa di Propinsi Aceh. Sekolah ini mengisi kebutuhan sarana pendidika

Menjaga Hubungan Profesi Petani-Buruh-Perantau di Desa Gapura, Kecamatan Watukumpul, Jawa Tengah


 

Kesejahteraan sosial dan ekonomi adalah salah satu aspek yang cukup penting untuk menjaga dan membina terjadinya stabilitas sosial dan ekonomi. Secara ekonomi perbandingan antara masyarakat desa dan kota dapat diketahui, masyarakat kota pembangunan ekonominya jauh lebih baik dibandingkan masyarakat desa, namun walaupun demikan, pembangunan ekonomi di kota tetap bergantung pada pembangunan ekonomi di desa. Contohnya, masyarakat yang tinggal di desa cenderung mendapatkan nafkah dari bercocok-tanam ataupun mencari ikan sebagai nelayan. Setiap sorenya, masyarakat di desa mengirim sebagaian besar hasil panennya ke kota untuk mendapatkan uang dan kemudian digunakan untuk membeli makanan untuk keluarganya.

Desa Gapura merupakan salah satu desa di Kecamatan Watukumpul, Kabupaten Pemalang yang berada di kawasan perbukitan dan pegunungan. Desa itu sangat terpencil dan jauh dari kilaunya cahaya kota. Jalan untuk menuju desa tersebut sangatlah sempit dan rusak, bahkan ada yang masih dalam kondisi tanah dan bebatuan. Tentunya transportasi menuju kesana harus menggunakan sarana transportasi alternatif salah satunya adalah coak. Coak merupakan alat transportasi berupa mobil cup terbuka yang dipasangi dengan rangkaian besi pada bagian belakang yang terbuka.

Mayoritas penduduk desa Gapura berprofesi sebagai petani. Menurut data sensus yang tercatat, penduduk yang berprofesi sebagai petani berjumlah 1298 orang dan terbagi lagi atas petani dan buruh tani yang nanti akan dijelaskan lebih lanjut. Selain itu, ada juga pekerja penyadap pinus yang juga digolongkan sebagai buruh tani. Bila tidak memungkinkan lagi mereka bekerja di desa oleh karena berbagai macam alasan yang nanti juga akan dibicarakan, mereka akan pergi merantau.

Petani-petani di desa Gapura biasanya menghasilkan padi dan jagung dari hasil panen sawah mereka. Petani di desa Gapura mengklasifikasikan petani dalam dua golongan, yaitu; petani yang memiliki tanah sawah sendiri dan petani yang tidak mempunyai tanah sawah sendiri dan bekerja untuk sawah orang lain demi mendapatkan upah, biasa disebut buruh tani.

Para “juragan-juragan” tani ini bertindak sebagai pemegang kendali sawah-sawah yang dimilikinya. Petani yang mempunyai sawah biasanya mengerjakan sawahnya sendiri sambil dibantu oleh beberapa orang yang dipekerjakan. Buruh-buruh yang dipilih biasanya adalah tetangga-tetangga mereka sendiri dan bisa untuk diajak untuk bekerja sama. Dari seorang informan yang ditemui, sawah yang di kerjakan itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dan tidak untuk dijual. Kalaupun pada saat tertentu harus dijual, maka tidak semuanya akan dijual. Sebagian hasil yang dijual itu akan digunakan sebagai pelunasan utang atau dalam keperluan mendadak.

Pada kesempatan kali itu, secara kebetulan informan ternyata sedang mengalami sebuah masalah yang harus diselesaikan. Dengan berat hati mungkin ia akan menjual seluruh hasil panennya, atau yang terburuk harus menjual sawahnya itu. Namun bila harus menjual sawah, ia sebelumnya telah memikirkan terlebih dahulu sebuah rencana jangka penjang yang harus dilakukan. Yaitu anggaran untuk membeli tanah baru yang lebih berjarak dekat dengan rumahnya sebagai ganti sawah sebelumnya yang jauh. Menurutnya rencana itu disebabkan oleh karena faktor umur. “Semakin lama manusia akan semakin tua dan tidak sanggup untuk terus bekerja di sawah saat ini yang berjarak sangat jauh dari rumah,” keluh informan. Memang benar, sawahnya berjarak sangat jauh dan harus menghadapi jalanan dengan medan yang sangat berat, serta menyeberangi dua buah sungai yang ketika hujan turun akan meluapkan airnya, sehingga dapat membuat beliau tidak bisa kembali ke rumahnya.

Untuk mengangkut hasil panen, biasanya dibawa dengan cara dipikul sendiri dengan mengajak beberapa orang untuk membantu. Namun bila sawah yang dipanen terletak di kawasan yang bisa dilalui kendaraan, maka coak adalah sarana alternatif yang lebih efektif untuk mengangkut hasil panen tersebut. Hasil panen yang telah diangkut itu nantinya akan dipilah-pilah untuk diputuskan sebagai simpanan sendiri atau dijual.

            Buruh tani umumnya merupakan pekerja yang dipekerjakan oleh pemilik-pemilik tanah untuk mengolah tanah sang pemiliknya. Buruh-buruh ini biasanya mendapat “lowongan pekerjaan” saat musim tanam akan tiba dan juga pada saat akan panen. Buruh disini tidak hanya bekerja sebagai buruh tani sawah atau kebun-kebun orang lain tetapi ada sebuah pekerjaan lainnya bagi buruh-buruh ini, yaitu menyadap pinus. Penduduk disini juga mengklasifikasikan penyadap pinus sebagai buruh tani.

Para penduduk di desa ini memiliki suatu pandangan bahwa, bila sudah tidak memungkinkan lagi untuk mendapatkan pekerjaan, maka mereka akan pergi merantau. Di rantauan sana mereka ada yang menjadi buruh bangunan, pedagang, dll. Sedangkan bagi kaum wanita biasanya adalah menjadi pembantu rumah tangga. Tujuan rantauan mereka adalah kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan lainnya. Namun yang anehnya, mereka sama sekali tidak berminat untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia/Wanita (TKI/TKW) ke luar negeri. Ternyata mereka telah mengartikan bahwa bekerja di luar negeri tidak menguntungkan bagi mereka setelah melihat langsung nasib salah seorang tetangganya yang bekerja di Brunei Darussalam. Alasan lainnya adalah agar bisa pulang saat liburan datang.

Bila dilihat, alasan-alasan mereka merantau disebabkan oleh faktor beban ekonomi yang berat sehingga mengaharuskan mereka untuk mencari kerja ke tempat lain. Ditambah lagi dengan minimnya lapangan kerja yang ada sehingga mengharuskan mereka untuk “meninggalkan” desa. Namun faktor-faktor tersebut tidak sepenuhnya menjadi alasan mengapa mereka harus merantau.

Banyak faktor selain yang disebutkan menjadi alasan-alasan mereka merantau. Selain untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan, ternyata ada faktor lain yang mempengaruhinya. Salah satu faktornya adalah usia yang masih muda. Faktor ini biasa dialami oleh pemuda-pemuda yang sangat berhasrat ingin mengadu nasib di kota. Segala macam pekerjaan dikerjakan demi bertahan dihimpitan kerasnya kota. Berdasarkan salah satu sumber dari informan yang pernah berpindah-pindah dari kota satu ke kota lainnya.

Seorang bapak-bapak yang dulu sering sekali merantau karena hasrat jiwa mudanya memanggil untuk merantau. Faktor itu disebabkan pula karena umur yang masih 17 tahun. Sebelum merantau ia adalah seorang pedagang es cendol. Untuk tempat singgah pertama kalinya adalah Jakarta. Disana ia memulai “karirnya” sebagai buruh kilang kayu. Rasa lelah sering dirasakan karena harus mengangkat beban kayu-kayu yang berat, sehingga ia mulai merasa tidak sanggup terus menekuni pekerjaan itu. Baru beberapa bulan berlalu, ia keluar dari pekerjaannya dan mencari pekerjaan yang baru. Selanjutnya, bersama adik kandungnya sendiri ia menekuni pekerjaan baru yang sekiranya lebih ringan. Pekerjaan yang didapatnya adalah menjadi pedagang alat-alat elektronik. Dengan pekerjaan barunya ini, ia berhasil mendapatkan untung yang lumayan untuk bertahan hidup. Saat lebaran datang, hasil jerih payahnya selama di rantau ia bawa pulang seperti; motor, televisi dan loudspeaker.

            Dari Jakarta kemudian ia melanjutkan tujuan rantauannya ke Bandung. Di kota mode itu ia kembali menjadi pedagang. Namun kali ini, ia menjadi seorang pedagang mainan anak-anak di depan sekolah-sekolah. Mainan yang didagangkan adalah mainan kerajinan tangan dari bambu. Setelah beberapa lama tinggal dirantauan, akhirnya ia pulang kembali ke desa. Dari contoh di atas dapat kita lihat salah satu faktor lain selain masalah ekonomi saja yang lumrah menjadi faktor utama untuk merantau. Selain itu, ada faktor lain yang biasanya dialami oleh para perempuan-perempuan desa tersebut, yaitu perasaan gengsi terhadap orang lain.

            Perempuan-perempuan yang mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga lebih memilih untuk merantau ke kota-kota besar. Namun yang menjadi sasaran utama adalah Jakarta. Mereka lebih memilih pergi ke Jakarta daripada ke Pemalang yang jauh lebih dekat. Dan menurut salah seorang informan perempuan di desa itu, mereka merasa gengsi jika lebih memilih merantau ke Pemalang daripada ke Jakarta. Perasaan-perasaan seperti ini telah mendoktrin pikiran mereka untuk memilih Jakarta sebagai tujuan utama.

            Bekerja jauh disana tidak membuat mereka lupa terhadap desanya. Setiap lebaran datang, banyak perantau-perantau pulang ke desa Gapura ini. Desa yang pada hari biasanya sepi berubah menjadi ramai oleh mereka yang mudik ke kampung halamannya. Seperti dari contoh sebelumnya, para pemudik yang pulang masing-masing membawa oleh-oleh berupa alat-alat elektronik bahkan motor baru yang digunakan sekaligus sebagai alat transportasi mudik.

            Faktor lainnya dari alasan-alasan merantau adalah sebagai sebuah pelarian terhadap masalah yang sedang dialami di keluarganya. Pada seorang informan ibu-ibu yang pernah menceritakan alasannya pergi merantau. Alasannya adalah masalah keluarga yang tidak harmonis. Beliau biasanya pergi setelah ribut dengan suaminya. Ia pergi ke Jakarta dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Untuk memilih majikan yang tepat, ia akan memilih majikan yang sekiranya tidak pelit dan baik. Bila musim tanam di desanya datang, si Ibu akan dihubungi untuk pulang. Ibu tersebut merasa kagum pada suaminya, “walaupun telah ditinggal tetapi tidak mencari istri yang lain,” ujar sang Ibu.

            Dari keseluruhan profesi yang telah dipaparkan, ternyata memiliki hubungan-hubungan yang saling menghubungkan. Petani yang memiliki tanah akan membutuhkan orang lain yaitu, buruh tani untuk membantunya memanen. Buruh pun sangat membutuhkan orang yang memberi pekerjaan untuk menghidupi dan memenuhi kehidupannya. Dengan kemampuan yang dimiliki, mereka juga merantau ke kota-kota saat keadaan harus memutuskan ia untuk pergi.

            Atas hubungan-hubungan yang saling mendukung itu, masyarakat berharap hubungan diantara mereka tetap terjaga. Namun perlu juga bagi kita untuk mengeksplorasi kehidupan mereka agar semua dapat melihat apa yang terjadi di pelosok sana.

Komentar